ALSA FLASH JANUARI 2012

CYBER CRIME
BY : MIA NURAINI
Vice Manager Law Development Division

Perkembangan teknologi terutama teknologi informasi dan komunikasi telah memberikan manfaat besar bagi peradaban manusia. Perkembangan ini telah mendorong masyarakat tradisional menjadi mayarakat digital karena adanya kemudahan dalam akses informasi dan telekomunikasi. Segala informasi dapat diperoleh dengan cepat dan mudah melalui perangkat elektronik seperti komputer, laptop, bahkan melalui perangkat nirkabel seperti telepon seluler. Tidak mengherankan apabila kebutuhan akan perangkat eletronik ini mengalami peningkatan tiap tahunnya sejak tahun 90-an terutama untuk perangkat telekomunikasi telepon seluler.

Pada awalnya telepon seluler dipergunakan sebagai alternatif perangkat telepon tradisional karena dapat dibawa dengan mudah. Seiring dengan perkembangannya, telepon seluler mengalami metamorfosa dengan dilengkapi fitur-fitur lain seperti sms (short message services) bahkan mampu melakukan akses internet dimanapun dan kapanpun. Karena kemudahan-kemudahan yang ada dalam telepon seluler itulah maka hampir setiap orang memlikinya. Saat ini dapat dikatakan telepon seluler merupakan salah satu kebutuhan primer selain kebutuhan pangan. Berbanding lurus dengan dengan hal tersebut, pemanfaatan perangkat telekomunikasi sebagai sarana bisnis semakin berkembang pesat.

Tren komunikasi pemasaran melalui media baru salah satunya berbentuk Mobile Advertising yang menggunakan telepon seluler sebagai media utama. Dalam konteks komunikasi pemasaran termediasi, telepon menjadi media yang dapat digunakan untuk melakukan one on one communication dengan pelanggan. Hampir semua pesan yang diterima oleh pengguna telepon seluler, dibuka secara personal oleh penggunanya. Berbeda dengan pelaku bermedia pada umumnya, semua pengguna telepon seluler membawa ponselnya kemanapun ia pergi. Ini adalah potensi kelebihan signifikan telepon seluler yang tidak dimiliki oleh media massa lainnya sehingga pesan yang dikirimkan benar-benar tertuju kepada pengguna ponsel tersebut sesuai segmen pasar yang diinginkan oleh pemasang iklan.

Di Indonesia, meskipun penetrasi penggunaan telepon seluler pada tahun 2007 masih rendah dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, pertumbuhan industri seluler di Indonesia signifikan pertumbuhannya dalam 10 tahun terakhir, bahkan tumbuh dua kali lipat dalam 20 bulan terakhir (Indosat, 2008). Industri seluler yang mengalami peningkatan cukup pesat salah satunya adalah bisnis content premium. Peningkatan ini tentu saja disertai peningkatan daya beli content premium oleh user content atau pengguna telepon seluler. Menurut Asosiasi Telekomnikasi Seluler Indonesia (ATSI) peningkatan jumlah pengguna atau penikmat content premium sejak tahun 2002-2010 meningkat lebih dari 100% tiap tahunnya denga total keuntungan mencapai sekitar 140 trilyun rupiah. Dengan peningkatan tersebut nampak jelas bahwa bisnis content premium merupakan bisnis yang sangat menjanjikan keuntungan yang besar. Dengan adanya peningkatan tersebut maka para pelaku bisnis content premium dituntut harus kreatif menciptakan atau memproduksi content miliknya agar tetap mampu bersaing dan memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Namun seringkali para pelaku bisnis content premium melakukan kecurangan untuk mendapatkan pelanggan sebanyak-banyaknya dengan tujuan mendapatkan keuntungan sesuai target revenue yang telah ditentukan dalam perjanjian kerjasama dengan operator seluler sebagai penyedia jaringan telekomunikasi, salah satunya dengan cara pencurian pulsa.

Pencurian pulsa sendiri kian marak terjadi sejak menjamurnya bisnis content premium. Pencurian yang memanfaatkan jaringan telekomunikasi dengan obyek pulsa pada pemilik nomor telepon seluler merupakan jenis kejahatan yang tergolong masih baru di Indonesia. Hal ini dikarenakan belum adanya peraturan perundangan-undangan yang secara khusus mengatur tentang tindak pencurian pulsa ini. Jika dilihat dari kacamata hukum pidana di Indonesia, pencurian ini jika diinterpretasikan dapat digolongkan sebagai pencurian menurut Pasal 362 KUHP. Namun dalam hal ini yang menjadi obyek barangnya adalah pulsa yang merupakan benda atau barang yang tidak berwujud serta terjadi dalam tempat dan waktu yang tidak mudah untuk ditentukan. Dalam kaitannya dengan kejahatan dalam dunia cyber atau cybercrime karena memanfaatkan jaringan telekomunikasi. Dapat atau tidaknya menggolongkan pencurian pulsa dalam kategoris tindak pidana cyber, perlu dilakukan kajian mendalam mengenai hal tersebut.