Yurisdiksi Ekstrateritorial dalam Kasus Perusakan Kedutaan Besar Inggris di Iran
Oleh : Muhamad Rakhmanaji
Vice Manager of Publishing and Creativity Division
Persoalan perluasan yurisdiksi berlakunya hukum pidana berdasarkan asas territorial di wilayah darat timbul, karena adanya suatu teori dalam hukum internasional diplomatik yang menyatakan bahwa gedung diplomatik merupakan perluasan wilayah suatu negara pengirim di negara penerima.
Yurisdiksi ekstrateritorial, diartikan sebagai kepanjangan secara semu (quasi extentio) dari yurisdiksi suatu negara di wilayah yurisdiksi negara lain. Konsep ini didasarkan atas teori ekstrateritorial dalam kaitannya dengan premises (sebidang tanah dimana berdiri gedung-gedung Perwakilan Diplomatik atau Konsuler) di suatu negara. Lingkungan wilayah di dalam premises tersebut dianggap seakan-akan merupakan wilayah tambahan dari suatu negara. Yurisdiksi ekstrateritorial tersebut meliputi yurisdiksi Perwakilan Diplomatik dan Konsuler dari suatu negara khususnya yang menyangkut yurisdiksi suatu negara terhadap Warga Negaranya di negara lain. Yurisdiksi ekstrateritorial ini pada awalnya disebut sebagai yurisdiksi Konsuler karena yurisdiksi semacam itu sudah dianut dan dikenal sejak dahulu dan telah dipraktekkan oleh Konsul-Konsul di negara lain.
Premis tersebut di dalam hukum diplomatik dinyatakan tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh dimasuki oleh aparat keamanan setempat kecuali seizin Kepala Perwakilannya, karena itu perwakilan diplomatik maupun Konsuler suatu Negara dalam batas-batas tertentu dapat melaksanakan yurisdiksi ekstrateritorial-nya di Negara lain.
Dalam hal ini kita tidak akan membahas dari sisi keadaan politik yang terjadi antara Iran dan Inggris, namun kita akan membahas dari sisi Hukum Pidana Internasional yaitu mengenai Yurisdiksi Ekstra Territorialnya. Kedutaan Besar merupakan salah satu dari Ekstra Territorial suatu negara, dimana negara dapat menerapkan yurisdiksinya dalam wilayah negara penerima. Bagaimana pemerintah Inggris dapat menerapkan yurisdiknya apabila tempat kediamannya di Iran dirusak yang sekaligus secara tidak langsung mengganggu pula keamanan pribadi dari semua perwakilan yang termasuk dalam kedutaan besar itu. Pemerintah Iran dalam hal ini telah melanggar ketentuan yang ada dalam Konvensi Wina 1961. Berdasarkan konvensi tersebut, gedung perwakilan asing suatu negara seharusnya mendapat perlindungan dari negara penerima. Hal ini karena, gedung perwakilan asing tersebut merupakan bagian yurisdiksi esktra territorial dari sebuah negara pengirim, dimana negara pengirim tersebut dapat menerapkan yurisdiksinya di negara penerima. Tidak diganggunya perwakilan asing tersebut menyangkut dua aspek, Aspek pertama adalah mengenai kewajiban negara penerima untuk memberikan perlindungan sepenuhnya sebagai perwakilan asing di negara tersebut dari setiap gangguan. Bahkan bila terjadi keadaan luar biasa seperti putusnya hubungan diplomatik atau terjadinya konflik bersenjata antara negara pengirim dan negara penerima, kewajiban negara penerima untuk melindungi gedung perwakilan berikut harta milik dan arsip-arsip tetap harus dilakukan. Aspek kedua adalah kedudukan perwakilan asing itu sendiri yang dinyatakan kebal dari pemeriksaan termasuk barang-barang miliknya dan semya arsip yang didalamnya. Didalam Konvensi Wina 1961, secara jelas memberikan batasan bahwa gedung-gedung dan bagian-bagiannya dan tanah tempat itu didirikan, tanpa memperhatikan siapa pemiliknya yang digunakan untuk keperluan perwakilan negara asing tersebut termasuk rumah kediaman kepala perwakilan.
Kronologis kasus ini terjadi berawal dari Inggris membantu secara terbuka kebijakan AS terhadap Iran, termasuk sanksi Ekonomi yang diterapkan oleh AS yang diumumkan oleh Menkeu dan Menlu AS pada 22 Nopember lalu saat penetapan kebijakan ekstrim terhadap Iran dengan menerapkan UU Patriot AS. Sanksi AS yang dibantu Inggris terbaru itu memang sangat keras dan tajam untuk memberi pelajaran keras terhadap Iran. Diprediksikan oleh berbagai kalangan sanksi baru AS tersebut bisa jadi sebagai cikal bakal terbitnya resolusi terbaru PBB terhadap Iran. Resolusi terbaru tersebut tersebut adalah representasi dunia internasional atas akumulasi kekecewaan AS dibantu Inggris dan sekutunya terhadap kebijakan garis keras Iran dalam bernegosiasi dengan Barat.
Akhirnya ketegangan itu memuncak setelah Parlemen Iran (pada tanggal 27/11) menyetujui RUU pengurangan hubungan diplomatik dengan Inggris sebgaimana yang telah diumumkan oleh Parelemen Iran dua hari lalu, seperti dilaporkan oleh kantor berita Iran, IRNA. Dalam serbuan kali ini para pelajar dan mahasiswa pada siang hari tadi waktu Iran menyerbu kedutaan Inggris dengan melemparinya dengan batu dan melemparkan bom molotov ke dalam kedutaan dari luar pagar. Mereka melawan barikade Polisi keamanan Iran. Entah benar-benar terjaga kedutaan itu apa tidak nyatanya dalam tempo 2 jam setelah berdesak-desakan para pelajar dan mahasiswa berhasil menembus barikade polisi.
Perlindungan memang diperlukan bagi kedutaan besar Inggris dari pemerintah Iran, karena dalam ini adanya kewajiban perlindungan di dalam/ lingkungan gedung perwakilan asing (Interna Rationae) dan perlindungan di luar gedung perwakilan asing (Externa Rationae). Kegiatan yang terjadi diluar gedung perwakilan asing tersebut dalam hal ini unjuk rasa/demonstrasi yang merusak gedung kedutaan besar Inggris, hal itu merupakan gangguan terhadap ketenangan perwakilan dalam menjalankan misinya atau dapat menurunkan harkat dan martabat perwakilan asing di suatu negara yang pada hakikatnya bisa bertentangan dengan arti dan makna dari Pasal 22 (2) Konvensi Wina 1961. Pasal 22 (2) ini mengakibatkan suatu tingkat perlindungan yang khusus di samping kewajiban yang sudah ada guna menunjukkan kesungguhan dalam melindungi perwakilan asing yang berada di suatu negara.
Dalam kasus perusakan Kedutaan Besar Inggris untuk Iran ini, negara Iran telah lalai melindungi perwakilan asing (perwakilan dari negara Inggris) di wilayah negaranya sekaligus melanggar pasal 22 ayat (2) Konvensi Wina 1961. Akan tetapi perlu kita perhatikan disini yang berhubung dengan materi Hukum Pidana Internasional, pelaku yang merusak Kedutaan besar adalah para mahasiswa (kelompok) warga negara Iran, dan bukan di bawah kebijakan pemerintah/organisasi di Iran, sehingga kejahatan ini bukanlah kejahatan transnasional akan tetapi merupakan kejahatan internasional, karena merupakan perbuatan dianggap sebagai kejahatan internasional baik yang diatur dalam konvensi internasional (Konvensi Wina) maupun dalam hukum kebiasaan internasional.
Oleh karena itu, tindakan-tindakan yang perlu diambil adalah :
A. Karena ini merupakan tindak kejahatan yang bukan termasuk yurisdiksi ICC (Mahkamah Internasional), maka para pelaku perusakan ini ditindak dengan menggunakan hukum nasional Iran atas permintaan negara Inggris, selain itu penindakan terhadap para pelaku ini merupakan kewajiban dari negara Iran.
B. Apabila negara Iran unwillingness atau unable, maka wewenang yurisdiksi terhadap para pelaku dapat dialihkan kepada hukum nasional negara Inggris berdasarkan asas teritorial, karena berdasarkan asas ekstrateritorial para pelaku yang merusak kedutaan besar Inggris dianggap melakukan kejahatan di atas wilayah teritorial negara Inggris.
C. Selain itu negara Iran wajib memberi kompensasi berdasarkan prinsip ex gratia kepada negara Inggris sebagai bentuk pertanggungjawaban negara Iran terhadap negara Inggris.
Apabila negara Iran tidak beritikad baik menunjukkan pertanggungjawabannnya untuk melaksanakan hal tersebut, maka negara Inggris berhak menarik perwakilan diplomatiknya dari negara Iran sebagai bentuk protes tertinggi suatu negara pengirim terhadap negara penerima.
Sumber :
Konvensi Wina 1961
Buku Ajar Hukum Pidana Internasional – Universitas Diponegoro Semarang
Suryokusumo, Sumaryo. Studi Kasus Hukum Internasional, Jakarta : PT Tatanusa, 2007
Suryokusumo, Sumaryo. Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Bandung : PT Alumni, 2005
Suryono, Moenir. SH,dkk. Hukum Diplomatik : Kekebalan dan Keistimewaannya, Bandung : Angkasa, 1991
http://agungsaja.com/mahasiswa-iran-rusak-kedubes-inggris/