ALSA FLASH SEPTEMBER 2013

TRAFFICKING : PERDAGANAN ANAK, DAN KURANGNYA PENCATATAN KELAHIRAN
Oleh : Abram Putra Mahadirta Ginting

Perdagangan anak dalam beberapa referensi dapat diartikan sebagai segala bentuk tindakan dan percobaan tindakan yang melibatkan rekruitmen, transportasi, baik di dalam maupun diluar negara, pembelian, penjualan, pengiriman, dan penerimaan anak dengan banyak cara untuk tujuan pemaksaan pekerjaan, pelayanan seksual, perbudakan, buruh ijon, dan segala kondisi perbudakan lain, baik mendapat bayaran atau tidak, dimana anak tersebut diambil dengan cara penipuan, kekerasan, maupun dengan cara lainnya.

ODCCP (Office for Drug Control and Crime Prevention) mendefinisikan Perdagangan Anak sebagai perekrutan, pemindahan, pengiriman, penempatan atau menerima anak-anak di bawah umur untuk tujuan eksploitasi dan itu menggunakan ancaman, kekerasan, ataupun pemaksaan lainnya seperti penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan wewenang maupun posisi penting. Juga member atau menerima uang atau bantuan untuk mendapatkan persetujuan dari orang yang menguasai penuh atas anak tersebut.

Pada tahun 2002, Indonesia bersama beberapa negara di Asia menempati peringkat terburuk dalam hal perdagangan anak dan perempuan sehingga mendapatkan sorotan dari mancanegara. Namun Pemerintah dikala itu tidak tinggal diam, Pemerintah-pun mengambil langkah – langkah penanggulangan, salah satunya adalah dengan melakukan kerjasama lintas sector dengan LSM-LSM yang peduli terhadap masalah tersebut. Hingga pada saat itu disahkannya Undang-Undang Nomor23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-UndangNomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dalam UU inidiatur dengan jelas mengenai hak anak untuk dilindungi dari segala bentuk eksploitasi dan perdagangan.

Ada beberapa factor yang kerap mendukung terjadinya perdagangan Anak di Indonesia, Kemiskinan, Kurangnya pendidikan, dan Kurangnya pencatatan kelahiran. Kemiskinan dan kurangnya pendidikan merupakan factor pendukung yang paling suli tdicegah dan paling krusial. Sebagian besar dari anak yang di perdagangkan merupakan anak yang berasal dari Orang Tua yang tidak mampu dan tidak mendapatkan pendidikan yang memadai, sehingga besarnya biaya dan tanggungan terhadap anak tidak dapat di penuhi oleh Orang Tua dan mempermudah jalannya Perdagangan Anak.

Lepas dari dua factor tersebut, masih ada satu factor lagi, factor ini sebenarnya mempunyai celah bagi pemerintah untuk memperkecil persentase dan peluang perdagangan anak serta dapat mengambil langkah preventif terhadap Perdagangan anak jika factor ini dapat dibenahi/ revitalisasi.

UNICEF mencatat jika di Indonesia 6 dari 10 balita yang lahir tidak memiliki identitas yang sah. Pendaftaran kelahiran menjadi satu mekanisme pencatatan sipil yang efektif karena ada pengakuan eksistensi seseorang secara hukum. Pencatatan ini memungkinkan anak mendapatkan akte kelahiran. Ikatan keluarga si anak pun menjadi jelas. Artinya catatan hidup seseorang dari lahir, perkawinan hingga mati juga menjadi jelas. Bagi pemerintah, akte kelahiran membantu menelusuri statistic demografis.

Selain itu, birokrasi berbelit-belit dan sistem yang terlalu tersentralisir juga mengakibatkan masyarakat menjadi apatis untuk mencatatkan kelahiran anak mereka, hal ini merupakan satu titik yang harus dibenahi guna memperbaiki suatu mekanisme pencatatan sipil agar tiap – tiap kelahiran dapat tercatat dengan baik. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh dengan Perdagangan Anak. Dengan adanya Pencatatan yang dikaji secara komprehensif maka kita dapat mencegah atau mengurungai terjadinya Perdagangan Anak di Indonesia.