Asian Law Students' Association
-Silahkan Lakukan Registrasi untuk yang belum terdaftar (Baca : Peraturan Forum)
-Silahkan Lakukan Registrasi untuk menikmati fitur Post, Chat, PM ,dll.

-Silahkan Log In untuk yang telah melakukan Registrasi
Asian Law Students' Association
-Silahkan Lakukan Registrasi untuk yang belum terdaftar (Baca : Peraturan Forum)
-Silahkan Lakukan Registrasi untuk menikmati fitur Post, Chat, PM ,dll.

-Silahkan Log In untuk yang telah melakukan Registrasi
Asian Law Students' Association
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Asian Law Students' Association

Asian Law Students' Association Local Chapters Diponegoro University
 
IndeksGalleryLatest imagesPencarianPendaftaranLogin
-WELCOME to alsalcundip.indonesianforum.net. KLIK ChatBox Untuk Memulai Chatting
Pencarian
 
 

Display results as :
 
Rechercher Advanced Search
Similar topics
Latest topics
» ALSA Touring 2013
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeSun Dec 01, 2013 9:40 pm by Admin

» ALSA FLASH NOVEMBER 2013
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeFri Nov 22, 2013 1:36 pm by naditavictoria

» ALSA Cup 2013
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeSat Nov 02, 2013 11:14 am by Admin

» ALSA Laos Study Trip 2013
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeThu Oct 24, 2013 1:21 pm by Admin

» ALSA Sports Day 2013
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeTue Oct 22, 2013 1:23 am by Admin

» Open Registration for ALSA English Festival 2013
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeThu Oct 17, 2013 7:21 am by Admin

» Open Registration for ALSA Model United Nations 2013
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeThu Oct 17, 2013 6:59 am by Admin

» Seminar dan Workshop ALSA LC Undip 2013
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeThu Oct 17, 2013 5:01 am by Admin

» MADING OKTOBER 2013
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeMon Oct 14, 2013 1:07 am by Admin

» ALSA FLASH OKTOBER 2013
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeMon Oct 14, 2013 1:05 am by Admin

» ALSA Indonesia Study Trip 2013
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeFri Oct 11, 2013 10:08 pm by Admin

» ALSA Conference Singapore 2014
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeFri Oct 11, 2013 10:05 pm by Admin

» ALSA FLASH SEPTEMBER 2013
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeTue Sep 10, 2013 7:43 pm by Admin

» Pendaftaran International Student Identity Card
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeTue Sep 10, 2013 7:09 pm by Admin

» ALSA FLASH AGUSTUS 2013
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeSat Aug 03, 2013 3:09 pm by Admin

» ALSA Study Trip Srilanka 2013
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeThu Jul 25, 2013 6:22 pm by Admin

» ALSA FLASH MEI 2013
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeMon Jul 15, 2013 2:34 pm by Muhamad Ali Hasan

» ALSA FLASH JULI 2013
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeSun Jul 14, 2013 10:07 pm by Admin

» ALSA Indonesia Breakfasting & Social Day 2013
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeSat Jul 13, 2013 10:08 am by Admin

» Undangan Konsultasi Hukum
ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeMon Jul 01, 2013 6:51 pm by Admin

April 2024
MonTueWedThuFriSatSun
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930     
CalendarCalendar
Forum
Poll

 

 ALSA FLASH AGUSTUS 2013

Go down 
PengirimMessage
Admin

Admin


Jumlah posting : 63
Join date : 26.12.10

ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Empty
PostSubyek: ALSA FLASH AGUSTUS 2013   ALSA FLASH AGUSTUS 2013 Icon_minitimeSat Aug 03, 2013 3:09 pm

Revolusi Tanjung Gusta Oleh Narapidana
Oleh : Yosa Jeremia Donovan


Kerusuhan yang terjadi di LP Tanjung Gusta pada hari Kamis, 11 Juli 2013 sekitar pukul 18.30 WIB menyebabkan para napi melakukan “revolusi” di dalam LP Tanjung Gusta. Salah satu penyebab penghuni LP Tanjung Gusta melakukan “revolusi” adalah ketiadaan listrik dan air di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Para napi kemudian melakukan provokasi hingga timbul “revolusi” di lapas yang akhirnya berujung pada pembakaran LP Tanjung Gusta.

Sebenanrnya penyebab mendasarnya tidak hanya itu, sudah diketahui secaraa umum, bahwa pada umumnya Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan yang dikelola oleh Kementerian Hukum dan HAM sudah kelebihan kapasitas yang menimbulkan situasi overcrowded. Khusus konteks Indonesia, sangat sulit memisahkan secara tegas antara Lapas dan Rutan, karena seringkali ada tahanan yang dititipkan di Lapas begitu juga ada narapidana yang tidak pindah ke Lapas namun karena situasi tertentu merasa betah di Rumah Tahanan.

Karena itu tidak heran apabila masalah overcrowded tidak hanya melanda Lapas namun juga Rutan, dan LP Tanjung Gusta adalah salah satu Lembaga Pemasyarakatan yang berada di bawah kontrol Kementerian Hukum dan HAM juga tak luput dari masalah yang sama. LP Tanjung Gusta yang awalnya didesain hanya untuk dihuni 1095 orang, saat ini dihuni oleh 2594 orang atau lebih dari 100%.
Perlu kita ketahui, situasi overcrowded di Lembaga Pemasyarakatan atau rumah-rumah tahanan sudah terjadi sejak masa Belanda berkuasa.

Tercatat pada 1845, 85% tahanan yang berada di ruang tahanan yang berada di bawah Gedung Balaikota saat itu (Sekarang: Museum Sejarah Jakarta) meninggal dunia karena terkena tifus, disentri, dan kolera. Penyebab utamanya adalah penghuninya sudah berlebih dari daya tampung rumah tahanan. Mengingat masalah yang sudah sangat akut tersebut yang dapat dilacak pada 1845, tampaknya pemerintah tidak pernah mau belajar dari sejarah dan tidak pernah secara serius berupaya untuk melakukan perbaikan baik dalam sistem penahanan prapersidangan ataupun kebijakan pemidanaan yang bertujuan untuk mengurangi tekanan terhadap rumah-rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di Indonesia.

Mengubah kebijakan penalisasi dan penahanan pra persidangan
Dapat diketahui secara umum, orang-orang yang menjadi tersangka dalam sebuah tindak pidana “diwajibkan” untuk mennghuni rumah-rumah tahanan. Salah satu dasar penyebabnya adalah ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP mengenai syarat sahnya penahanan. Salah satu alasan yang paling penting untuk dapat dilakukan penahanan adalah apabila seseorang disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 5 tahun. Faktanya, para pembuat kebijakan di Indonesia, sesudah gerakan reformasi berganti, tampaknya senang dengan mengancamkan pidana penjara di atas 5 tahun untuk hampir semua perbuatan dengan hanya satu alasan: Efek Jera.

Hasil riset ICJR pada 2011 menunjukkan bahwa sejak 1946 hingga 2007, Indonesia terus memproduksi tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana di atas 5 tahun. Apabila pada 1995 tindak pidana di luar KUHP yang diancam pidana di atas 5 tahun penjara “hanyalah” 215 tindak pidana, pada 2007 naik 100 persen menjadi 443 tindak pidana yang diancam dengan pidana diatas 5 tahun penjara. Situasi ini akan berbanding lurus dengan meningkatnya tekanan terhadap kapasitas hunian di rumah-rumah tahanan dan LP di seluruh Indonesia.

Dirjend Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM dalam laporan tahunannya menyebutkan bahwa sejak tahun 2001 telah  terjadi kelebihan kapasitas hunian di rumah-rumah tahanan dan LP di seluruh Indonesia, pada saat itu kapasitas hunian adalah sebesar 59.488 dengan jumlah penghuni mencapai 64.619 namun pada 2009 jumlah kapasitas hunian di rumah – rumah tahanan dan LP hanyalah bertambah hingga 90.853 dengan jumlah penghuni yang melonjak menjadi 132.372.

Tidah hanya hal itu, sikap pengadilan yang “enggan” untuk memeriksa syarat “keadaan yang menimbulkan kekhawatiran” dalam pemeriksaan praperadilan juga menjadi salah satu penyebab meningkatnya tekanan terhadap kapasitas hunian di rumah-rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Meski KUHAP dan Putusan MK No 018/PUU-IV/2006 telah menentukan dengan tegas agar pengadilan memeriksa dengan baik syarat “keadaan keadaan yang menimbulkan kekhawatiran” namun berdasarkan riset yang dilakukan oleh ICJR pada 2012, pengadilan lebih memilih jalan aman dengan menyatakan bahwa syarat “keadaan keadaan yang menimbulkan kekhawatiran” tersebut merupakan diskresi dari pejabat yang berwenang menahan yang tak dapat diuji di pengadilan.

Upaya Mahkamah Agung  dengan mengeluarkan Peraturan MA No 12 Tahun 2012 untuk menyesuaikan nilai denda dan batasan tindak pidana ringan yang seharusnya ditindak lanjuti oleh pemerintah melalui perubahan UU juga tidak direspon dengan baik oleh pemerintah. Sebennarnya upaya MA ini dapat menjadi titik awal dari salah satu upaya penting untuk mengurangi tekanan kapasitas hunian di rumah-rumah tahanan dan LP di seluruh Indonesia. Kementerian Hukum dan HAM tampak tak cukup jeli dalam melihat persoalan yang sudah menjadi persoalan sistemik ini yang sulit dikupas lagi pemecahannya.

Tanpa adanya perubahan berarti dari sisi kebijakan penalisasi dan juga dari upaya kontrol terhadap mekanisme penahanan pra persidangan, apapun yang dilakukan oleh pemerintah untuk menambah jumlah kapasitas hunian melalui pembangunan lapas dan rutan baru, tidak akan pernah memecahkan masalah kelebihan kapasitas tempat-tempat penahanan. Situasi overcrowded di tempat-tempat penahanan dan lapas akan terus menerus menjadi momok yang menakutkan bagi pemerintahan di masa-masa yang akan datang.

Hal lain semua yang perlu segera dilakukan pemerintah daripada hanya duduk termangu menunggu pembahasan Rancangan KUHP baru di DPR, semestinya pemerintah sudah bisa membuat amandemen terhadap Pasal 10 KUHP dengan memasukkan ketentuan-ketentuan baru tentang jenis-jenis pidana yang di introdusir oleh pemerintah dalam Rancangan KUHP. Tidak perlu menunggu Rancangan KUHP baru disahkan, namun dengan jalan melakukan amandemen terhadap Pasal 10 KUHP, maka kita bisa memulai pembenahan yang secara progresif dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap masalah kelebihan kapasitas di rutan dan lapas.

PP No 99 Tahun 2012: Hilangnya Akal Sehat
Perubahan dari pemasyarakatan adalah koreksi atau pembinaan dari terpidana, untuk itulah nama penjara yang sangat tidak manusiawi diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan. Dasar dari koreksi dan pembinaan tersebut yang rupanya seperti di lupakan oleh para pembuat kebijakan di pemasyarakatan. PP No 99 Tahun 2012 adalah peraturan pemerintah yang dikeluarkan pada masa Menteri Amir Syamsuddin menjadi Menteri Hukum dan HAM yang bertujuan untuk mengetatkan pemberian Remisi, Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana yang terkait dengan kejahatan terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.

Khusus untuk pembebasan bersyarat selain diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf k UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pembebasan bersyarat juga diatur dalam Pasal 15, 15 a, 15 b, dan 16 KUHP. Dalam pasal 15 a ayat (1) ditentukan bahwa pembebasan bersyarat diberikan dengan syarat umum jika terpidana tidak akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik. Dan terhadap pembebasan bersyarat dapat diterapkan syarat khusus yang juga parameternya telah ditentukan dalam Pasal 15 a ayat (2) yaitu “…boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai kelakuan terpidana, asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik”

Entah disengaja atau tidak namun secara formal PP No 99 Tahun 2012 ini malah luput mencantumkan KUHP sebagai salah satu dasar hukum dalam pengetatan pemberian pembebasan bersyarat, remisi, dan asimilasi bagi narapidana. Dan lagipula PP No 99 Tahun 2012 telah menyimpang jauh dari syarat khusus mengenai pembebasan bersyarat yang ditekankan dalam KUHP yaitu soal “…kelakukan terpidana”.

PP No 99 Tahun 2012 juga menetapkan syarat memperoleh remisi yang tidak mungkin dipenuhi oleh para pengguna narkotika yang dipenjara karena jika salah satu syarat terpenting seperti yang tercantum dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a adalah “bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya”. Karena pada dasarnya tindak pidana yang dilakukan oleh para pengguna narkotika adalah tindak pidana tunggal yang tidak terorganisir.

Menurut saya, kekeliruan mendasar dari PP No 99 Tahun 2012 adalah membatasi atau memperketat pemberian pembebasan bersyarat, remisi, dan asimilasi dengan hanya memandang pelaku tindak pidana berdasarkan kasusnya bukan berdasarkan kondisi yang melingkupi pelaku tindak pidana dan bobot tindak pidana yang dilakukannya. Seperti yang telah diketahui, kejahatan terorganisir apapun jenis kasusnya sangat terkait dengan pemberlakukan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dimana dalam kejahatan terorganisir pelaku sebuah tindak pidana dibedakan berdasarkan derajat peran yang dilakukan oleh pelaku.

Yang harus diingat, kejahatan terorganisir tidak hanya kejahatan-kejahatan seperti yang disebutkan dalam PP No 99 Tahun 2012 namun juga melingkupi kejahatan-kejahatan lain yang dilakukan secara terorganisir. Bahkan untuk delik penghinaan sekalipun, ada juga yang dilakukan secara terorganisir.

Menyamaratakan pemberlakukan pembatasan pembebasan bersyarat, remisi, dan asimilasi bagi pelaku tindak pidana terorganisir berdasarkan kasus hanya akan menciptakan ketidakadilan dalam sistem pembinaan narapidana di Indonesia. Kalaupun pemerintah mau memperketat ataupun membatasi atau bahkan mencabut pemberian pembebasan bersyarat, remisi, dan asimilasi bagi pelaku tindak pidana terorganisir mestinya pemerintah segera mengamandemen KUHP atau KUHAP agar Jaksa Penuntut Umum dapat mencantumkan dalam tuntutannya pembatasan hak-hak narapidana tersebut dan di tangan Pengadilanlah pembatasan yang dituntut Jaksa akan dinilai dan dijatuhkan vonisnya.

Melalui tahapan tersebut, maka terpidana yang berungkali membunuh atau melakukan pembunuhan secara berencana dan terorganisir, dapat juga dicabut hak-haknya sebagai narapidana sehingga pembatasan tersebut tidak hanya terbatas pada kasus dan tindak pidana tertentu dengan melupakan faktor pelaku dan derajat dan bobot dari peran yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Selain itu pembatasan hak narapidana melalui tangan pengadilan dapat dicegah kecenderungan kesewenang-wenangan yang dapat dilakukan oleh pemerintah.

Mengefektifkan pidana bersyarat dan pidana denda
Peran aktif dari Mahkamah Agung juga harus dilibatkan untuk mengurangi tekanan terhadap kelebihan kapasitas di rutan dan lapas di Indonesia. Untuk itu pemerintah harus mendorong Mahkamah Agung untuk mulai melihat kembali mengenai kemungkinan penjatuhan pidana bersyarat selain juga membuka kemungkinan untuk memperbanyak penjatuhan pidana denda.

Memang perlu dilihat kembali syarat-syarat agar Pengadilan dapat menjatuhkan pidana bersyarat dan/atau pidana denda, misalnya untuk kejahatan-kejahatan yang tidak melibatkan kejahatan terhadap tubuh dan/atau pelaku kejahatan tersebut baru pertama kali melakukan tindak pidana dan/atau kejahatan tersebut bukanlah suatu kejahatan yang dapat dipandang sebagai kejahatan terorganisir.

Konsep restorative justice dalam bentuk yang klasik yang dikenal dalam Pasal 14 KUHP dapat diterapkan oleh Mahkamah Agung dan langkah ini dapat secara efektif membantu mengurangi tekanan terhadap masalah kelebihan kapasitas di Lapas. Konsep ini tentu membutuhkan peran hakim pengawas dan pengamat yang harus lebih diefektifkan kembali untuk dapat menunjang.

Tapi, meski putusan Mahkamah Agung dapat diakses melalui situs MA, namun sulit untuk melihat dalam situs tersebut kejahatan apa saja yang paling banyak dijatuhi hukuman dibawah 1 tahun penjara, diantara 1 tahun hingga 5 tahun penjara, dan kejahatan mana saja yang  dijatuhi hukuman di atas 5 tahun penjara. Bahkan untuk melihat berapa banyak putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana penjara di bawah 1 tahunpun masih sulit dilihat, kecuali diolah secara manual.

Data ini penting agar Mahkamah Agung juga memiliki peran aktif dalam mendorong penggunaan pidana bersyarat dan juga pidana denda. Meskipun MA telah mengeluarkan Peraturan MA No 12 Tahun 2012 tentang perubahan nilai denda dalam KUHP, kebijakan untuk mengefektifkan pidana denda malah tidak terlihat digunakan secara efektif setidaknya dalam kasus-kasus penghinaan.

Dengan kedua langkah ini saja, Mahkamah Agung melalui putusan-putusannya dapat berperan aktif dalam mengambil langkah untuk mengurangi tekanan terhadap masalah kelebihan kapasitas penghuni Lapas.

Akhir kata..

Kita dapat mengingat kembali, bahwa Revolusi Perancis juga dimulai dari Penjara Bastille. Mungkin tterlalu berlebihan menyamakan Revolusi Perancis yang dimulai dari Penjara Bastille dengan “Revolusi” yang terjadi di Lapas Tanjung Gusta. Namun masalahnya adalah apakah pemerintah tetap “ngotot” untuk memilih membangun rutan dan lapas baru sambil tetap mengumandangkan jargon kosong atau memilih merombak total kebijakan pemidanaan yang saat ini berlaku.

Pilihan pertama adalah pilihan eksklusif yang tidak bisa dicapai dengan segera dan membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun dan memiliki potensi besar dibanding hanya sekedar politik pencitraan, namun pilihan kedua adalah pilihan murah yang memiliki dampak jangka panjang dan lebih memiliki kaitan erat dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Kembali Ke Atas Go down
https://alsalcundip.indonesianforum.net
 
ALSA FLASH AGUSTUS 2013
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» ALSA FLASH AGUSTUS 2012
» ALSA FLASH FEBRUARI 2013
» ALSA FLASH MARET 2013

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
Asian Law Students' Association :: NEWS AND ANNOUCEMENT :: Publishing and Creativity Division-
Navigasi: